Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Akbar Ibnu Arabi dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah. Berikut petikannya:
Seorang guru bercerita bahwa ia memiliki seorang murid kecil yang terbiasa membaca Al Quran kepadanya. Suatu hari, ia melihat wajah muridnya sayu. Ia pun bertanya tentang kondisi murid itu kepada teman-temannya. Ada yang menjawab bahwa anak itu telah shalat malam dengan mengkhatamkan seluruh Al Quran.
Ia lalu bertanya kepadanya, “Wahai anakku, saya diberitahu bahwa kamu semalam mengkhatamkan seluruh Al Quran dalam shalatmu.”
“Benar, guru.” jawab murid itu.
“Wahai anakku, nanti malam, bayangkanlah wajahku di depanmu sewaktu kamu shalat lalu bacalah Al Quran di hadapanku dan jangan kamu lalai.”
“Ya, guru.”
Ketika pagi hari, ia bertanya, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
“Sudah, guru.”
“Apakah kamu mengkhatamkan Al Quran?”
“Tidak, aku tak mampu menyelesaikan lebih dari separo Al Quran.”
“Wahai anakku, itu cukup baik. Nanti malam, hadirkanlah bayangan wajah salah seorang sahabat Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang telah mendengarkan Al Quran langsung dari Rasulullah, lalu bacalah di depannya dan hati-hati jangan sampai salah.”
“Insyaallah, guru. Saya akan lakukan.” jawab sang murid.
Keesokan harinya, ia bertanya lagi, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
Murid itu menjawab, “Saya tak mampu membaca lebih dari seperempat Al Quran.”
“Baiklah, nanti malam kamu bayangkan wajah Rasulullah yang telah menerima wahyu Al Quran itu dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika guru bertanya, murid itu menjawab,
“Aku tak mampu membaca lebih dari satu juz saja atau sekitar itu.”
“Wahai anakku, nanti malam kamu bayangkan wajah Jibril yang telah mendiktekan Al Quran kepada Rasulullah, bacalah di depannya dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika ia bertanya, murid itu menjawab,
“Saya tidak mampu membaca lebih dari beberapa ayat saja.” sambil menyebutkan ayat-ayat Al Quran yang ia baca.
“Wahai anakku, malam nanti bertaubatlah kepada Allah dan menunduklah. Ketahuilah bahwa orang yang sedang shalat itu adalah orang yang sedang berduaan dengan tuhannya. Renungkanlah apa yang kamu baca. Yang terpenting bukanlah memperbanyak bacaan, tapi tadabbur (menghayati) ayat-ayat yang kamu baca. Maka, jangan sampai kamu lalai.”
Keesokan harinya, sang guru tidak menemui murid itu. Ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit. Lalu ia menjenguknya.
Ketika melihat wajah gurunya, murid itu menangis sambil berkata,
“Wahai guru, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Aku belum pernah menyadari bahwa aku telah berbohong kecuali semalam tadi. Semalam aku telah membayangkan wajah Allah dalam shalatku, lalu aku pun merasa berat ketika membaca Al Quran di depan-Nya, aku tidak bisa menyelesaikan surat Al Fatihah kecuali hanya sampai Maliki Yaumiddin saja. Ketika aku hendak membaca Iyyaka na’budu, aku malu. Aku merasa telah berdusta di hadapan Allah. Aku mengaku hanya menyembah-Nya saja, tapi kenyataannya aku masih lalai dalam menyembah-Nya. Aku tidak bisa ruku’ sampai terbit fajar. Aku takut menghadap Allah dalam keadaan yang tidak aku sukai ini.”
Tiga hari kemudian, murid tersebut meninggal dunia. Ketika dimakamkan, sang ustadz mengunjungi kuburannya lalu bertanya tentang keadaannya di sana. Tiba-tiba ia mendengar suara pemuda itu dari bawah kuburan, “Wahai Ustadz, saya hidup di sisi Sang Maha Hidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Kemudian ustadz itu pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit, ia terbaring di atas ranjang akibat melihat kejadian itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia menyusul pemuda tersebut.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Barangsiapa membaca iyyaka na’budu seperti bacaan pemuda itu, ia telah benar-benar membacanya.”
(Sumber: Al Futuhan Al Makkiyah: Safar 6 hal. 297 cet. Sorbon; 2/6-7 Maktabah Syamilah)
kredit to : http://blog.its.ac.id/syafii
Seorang guru bercerita bahwa ia memiliki seorang murid kecil yang terbiasa membaca Al Quran kepadanya. Suatu hari, ia melihat wajah muridnya sayu. Ia pun bertanya tentang kondisi murid itu kepada teman-temannya. Ada yang menjawab bahwa anak itu telah shalat malam dengan mengkhatamkan seluruh Al Quran.
Ia lalu bertanya kepadanya, “Wahai anakku, saya diberitahu bahwa kamu semalam mengkhatamkan seluruh Al Quran dalam shalatmu.”
“Benar, guru.” jawab murid itu.
“Wahai anakku, nanti malam, bayangkanlah wajahku di depanmu sewaktu kamu shalat lalu bacalah Al Quran di hadapanku dan jangan kamu lalai.”
“Ya, guru.”
Ketika pagi hari, ia bertanya, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
“Sudah, guru.”
“Apakah kamu mengkhatamkan Al Quran?”
“Tidak, aku tak mampu menyelesaikan lebih dari separo Al Quran.”
“Wahai anakku, itu cukup baik. Nanti malam, hadirkanlah bayangan wajah salah seorang sahabat Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang telah mendengarkan Al Quran langsung dari Rasulullah, lalu bacalah di depannya dan hati-hati jangan sampai salah.”
“Insyaallah, guru. Saya akan lakukan.” jawab sang murid.
Keesokan harinya, ia bertanya lagi, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
Murid itu menjawab, “Saya tak mampu membaca lebih dari seperempat Al Quran.”
“Baiklah, nanti malam kamu bayangkan wajah Rasulullah yang telah menerima wahyu Al Quran itu dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika guru bertanya, murid itu menjawab,
“Aku tak mampu membaca lebih dari satu juz saja atau sekitar itu.”
“Wahai anakku, nanti malam kamu bayangkan wajah Jibril yang telah mendiktekan Al Quran kepada Rasulullah, bacalah di depannya dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika ia bertanya, murid itu menjawab,
“Saya tidak mampu membaca lebih dari beberapa ayat saja.” sambil menyebutkan ayat-ayat Al Quran yang ia baca.
“Wahai anakku, malam nanti bertaubatlah kepada Allah dan menunduklah. Ketahuilah bahwa orang yang sedang shalat itu adalah orang yang sedang berduaan dengan tuhannya. Renungkanlah apa yang kamu baca. Yang terpenting bukanlah memperbanyak bacaan, tapi tadabbur (menghayati) ayat-ayat yang kamu baca. Maka, jangan sampai kamu lalai.”
Keesokan harinya, sang guru tidak menemui murid itu. Ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit. Lalu ia menjenguknya.
Ketika melihat wajah gurunya, murid itu menangis sambil berkata,
“Wahai guru, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Aku belum pernah menyadari bahwa aku telah berbohong kecuali semalam tadi. Semalam aku telah membayangkan wajah Allah dalam shalatku, lalu aku pun merasa berat ketika membaca Al Quran di depan-Nya, aku tidak bisa menyelesaikan surat Al Fatihah kecuali hanya sampai Maliki Yaumiddin saja. Ketika aku hendak membaca Iyyaka na’budu, aku malu. Aku merasa telah berdusta di hadapan Allah. Aku mengaku hanya menyembah-Nya saja, tapi kenyataannya aku masih lalai dalam menyembah-Nya. Aku tidak bisa ruku’ sampai terbit fajar. Aku takut menghadap Allah dalam keadaan yang tidak aku sukai ini.”
Tiga hari kemudian, murid tersebut meninggal dunia. Ketika dimakamkan, sang ustadz mengunjungi kuburannya lalu bertanya tentang keadaannya di sana. Tiba-tiba ia mendengar suara pemuda itu dari bawah kuburan, “Wahai Ustadz, saya hidup di sisi Sang Maha Hidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Kemudian ustadz itu pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit, ia terbaring di atas ranjang akibat melihat kejadian itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia menyusul pemuda tersebut.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Barangsiapa membaca iyyaka na’budu seperti bacaan pemuda itu, ia telah benar-benar membacanya.”
(Sumber: Al Futuhan Al Makkiyah: Safar 6 hal. 297 cet. Sorbon; 2/6-7 Maktabah Syamilah)
kredit to : http://blog.its.ac.id/syafii